Apabila kita melihat karya para ulama, mengenai definisi dan jenis tafsir, hampir semua ulama sepakat kalau tafsir itu terbagi kepada dua jenis. Ada yang menggunakan riwayat atau lebih dikenal dengan tafsir bil matsur dan jenis yang kedua adalah tafsir bir ra’yi yang lebih kepada nalar/akal. Sebetulnya perkembangan tersebut disebabkan oleh zaman yang semakin berkembang. Di zaman dahulu atau lebih dikenal dengan zaman salaf, para mufassir lebih banyak menggunakan riwayat, dan yang menjadi tokoh mufassir adalah Imam At-Thabari (w. 310 H) dengan karya yang terkenal Jami al-Bayan an Ta’wil Al-Qur’an atau lebih dikenal dengan Tafsir At-Thabari. Namun, seiring berjalannya waktu, manusia semakin matang dalam berpikir sehingga tidak cukup puas walau itu adalah kalamullah. M. Quraish Shihab, mufassir asal Indonesia mengungkapkan dalam bukunya Kemukjizatan Al-Qur’an, bahwa manusia dari zaman nabi Muhammad SAW saja sudah matang dalam berpikir, sehingga tidak mungkin pada zaman itu Allah SWT memberikan mukjizat berupa hal-hal yang luar biasa, itu tidak akan cukup dan pasti akan dengan mudah dipatahkan dengan argumen atau dengan syair.
Kembali kepada jenis tafsir, tafsir yang akan ditulis pada kesempatan ini adalah jenis tafsir yang menggunakan nalar/bir ra’yi. Selain itu, ini merupakan salah satu tugas mata pelajaran Ulumul Quran kelas 12 (Dua Belas). Apa yang akan dituangkan pada tulisan ini, merupakan rekap dari hasil berpikir santri, selama penafsirannya tidak jauh atau tidak melenceng maka tidak mengapa. Sebetulnya, dalam menafsirkan Al-Qur’an tidak boleh sembarangan, Imam As-Suyuthi sebagai ulama yang berkontribusi besar dalam memberikan syarat mufassir menyusun ada lebih dari 15 syarat yang harus dipenuhi sebagai seorang mufassir. Tentu tidak sembarang orang yang bisa sampai kepada level itu, mesti ada usaha yang luar biasa, banyak waktu yang harus dikorbankan, dan tidak jarang sampai mengorbankan kepentingan pribadinya.
Sahabat nabi Saw (Abdullah bin Abbas), yang juga merupakan keponakan beliau menjelaskan bahwa ayat Al-Qur’an itu setidaknya ada empat jenis atau empat macam. Syaikh Manna Khalil al-Qhathan menuangkan dalam bukunya Al-Mabahis fi ilm Al-Qur’an, ke empat jenis ayat Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut : Pertama, Ayat Al-Qur’an yang mudah untuk dipahami, siapa saja pasti akan langsung paham walau dia tidak berilmu. Kedua, Ayat Al-Qur’an yang bisa dipahami melalui perangkat ilmu tertentu, maksudnya ada beberapa ayat Al-Qur’an yang bisa semakin jelas dipahami maknanya jika sudah menggunakan perangkat ilmu terapan. Contoh paling mudah adalah ayat Al-Qur’an tentang proses dibentuknya manusia, disebutkan dalam surah Al-Mu’minun bahwa manusia itu awalnya dari spermatozoa lalu bertemu dengan sel telur dan seterusnya. Pada zaman nabi Muhammad SAW sampai abad pertengahan, mungkin ini adalah hal yang aneh/tabu, tetapi setelah digabungkan ayat Al-Qur’an dengan ilmu terapan maka akhirnya makna ayat yang terkandung di dalamnya begitu indah. Allah SWT menurunkan ayat Al-Qur’an di padang pasir kepada seorang yang ummi / tidak bisa baca tulis, akhirnya bisa ditemukan makna yang dalam setelah berabad-abad. Ketiga, ayat Al-Qur’an yang bisa dipahami oleh orang-orang tertentu saja, maksudnya jenis ayat Al-Qur’an yang bisa dipahami oleh orang-orang yang sudah benar-benar berilmu dalam bidang Al-Qur’an, misalnya Nabi saw, beberapa sahabat, khalifah, serta ulama yang benar-benar fokus terhadap Al-Qur’an. Keempat, ayat Al-Qur’an yang bisa diketahui maknanya hanya Allah SWT saja. Para ulama sepakat jenis ayat ini adalah beberapa huruf-huruf di beberapa surah, atau biasa disebut dengan huruf Muqotoah/ huruf yang dibaca secara terpisah. Itulah beberapa jenis ayat yang ada di Al-Qur’an ini, sehingga mereka (kelas 12) ketika menafsirkan ayat Al-Qur’an adalah jenis yang pertama, atau ayat-ayat Al-Qur’an yang mudah untuk dipahami.
- Tanda-tanda kekuasaan Allah SWT dan ujian bagi manusia
Di antara tanda-tanda kekuasaan Allah SWT adalah menciptakan siang dan malam. Pergantian siang dan malam, bukan hanya sebagai waktu untuk istirahat saja, akan tetapi banyak sekali hal-hal yang akan terjadi jika pergantian siang dan malam. Allah SWT telah berfirman
يُوْلِجُ الَّيْلَ فِى النَّهَارِ وَيُوْلِجُ النَّهَارَ فِى الَّيْلِۗ وَهُوَ عَلِيْمٌ ۢبِذَاتِ الصُّدُوْرِ
Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam. Dia Maha Mengetahui segala isi hati. (QS. Al-Hadid ayat 6).
Allah SWT maha kuasa atas segala isi bumi, dan Allah SWT berhak atas apa pun yang akan diperbuatnya. Di antaranya bisa memasukkan malam ke siang, terus siang ke malam, bahkan sampai bisa mengetahui segala isi hati pada semua hambanya. (Najwa Nuraeni). Maka dari itu, Allah SWT dalam memberikan penjelasan, tidak memberikan firman Allah SWT begitu saja. Adanya para nabi dan rasul berupaya untuk menjelaskan wahyu dari Tuhan, karena jika tidak ada utusan maka bisa saja manusia mempunyai alasan yang lain sehingga tidak menyembah Allah SWT. Para ulama sepakat, kalau nabi dimulai sejak nabi Adam as, sedangkan rasul dimulai sejak nabi Nuh as. Sejak nabi Nuh as sampai kepada nabi Muhammad SAW biasanya satu paket antara nabi dan rasul. Misalnya saja dalam QS. Al-Hijr ayat 10 Allah SWT berfirman
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِيْ شِيَعِ الْاَوَّلِيْنَ
Sungguh, Kami benar-benar telah mengutus (beberapa rasul) sebelum engkau (Nabi Muhammad) kepada umat-umat terdahulu. Allah SWT sudah mengutus rasul kepada umat-umatnya sebelum nabi Muhammad SAW. Dan ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian Al-Qur’an selama-lamanya. (Monika Raihanisa). Hal itu juga dijelaskan dalam beberapa ayat dan surat yang berbeda. Di antaranya adalah QS. Al-Furqon ayat 1
تَبٰرَكَ الَّذِيْ نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلٰى عَبْدِهٖ لِيَكُوْنَ لِلْعٰلَمِيْنَ نَذِيْرًا ۙ
Maha melimpah anugerah (Allah) yang telah menurunkan Furqan (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya (Nabi Muhammad) agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam. Kekuasaan Allah SWT dan keharmonisan serta kecintaan yang telah menurunkan Al-Qur’an. Al-Qur’an sebagai pemberi peringatan kepada seluruh alam (Dina ladaina). Para ulama sepakat, kalau Al-Qur’an itu tidak hanya berisi ibadah dan muamalah. Di dalam Al-Qur’an banyak sekali hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia, karena memang fungsinya adalah pedoman atau petunjuk hidup manusia. Misalnya saja, manusia membutuhkan inspirasi maka Al-Qur’an menyajikan kisah-kisah para nabi terdahulu, manusia mempertanyakan bagian tubuh manusia maka Al-Qur’an menyajikan isyarat ilmiah dan lain sebagainya.
Namun, yang harus kita tahu bahwa Al-Qur’an itu bukan kitab ilmiah, maksudnya kitab yang berisi dan harus secara empiris serta objektif. Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang berisi sesuatu yang di luar nalar/abastrak sehingga untuk meyakininya tidak harus masuk akal. Maka dari itu, Al-Qur’an berisi petunjuk hidup manusia agar manusia bisa mendapatkan kebahagiaan. Misalnya saja, jika ingin sukses dalam berbisnis maka Al-Qur’an memberi bimbingan dengan surah Al-Muthafifin, jika ingin menjadi istri yang shalihah maka mesti mengkaji ayat-ayat tentang pernikahan, dan jika ingin ilmu parenting/pendidikan anak, maka Allah SWT menurunkan surah Luqman. Luqman bukan seorang nabi juga bukan seorang rasul, tetapi dia hanya seorang hamba yang shaleh menyembah Allah SWT yang hidup jauh sebelum nabi Muhammad SAW, tetapi karena nasihatnya yang luar biasa maka Allah SWT mengabadikan kehidupannya dengan surah khusus yakni surah Luqman. Misalnya saja dalam mendidik shalat Allah SWT berfirman
يٰبُنَيَّ اَقِمِ الصَّلٰوةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوْفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلٰى مَآ اَصَابَكَۗ اِنَّ ذٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْاُمُوْرِ
Wahai anakku, tegakkanlah salat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar serta bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang (harus) diutamakan. Menurut ayat di atas, suruhlah manusia melaksanakan shalat dan berbuat makruf serta laranglah mereka untuk melakukan kemungkaran. Dalam menjalankan perintah shalat dan menjegah kemungkaran, maka hendaknya dilandasi dengan kesabaran (Amanda Zahra Kurnia).
Dalam memahami ayat Al-Qur’an, tentunya tidak bisa ditelan begitu saja. Terkadang ada ayat-ayat Al-Qur’an yang jika dipikirkan seakan-akan ayat tersebut keliru. Padahal bukan ayatnya yang keliru tetapi manusia dalam memahami ayatnya yang keliru. Misalnya saja tentang berdoa, Allah SWT menganjurkan bagi hamba-hambanya untuk meminta apa saja yang ia mau. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 186
وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ
Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Maka, hendaklah mereka memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran. Jika ada seorang hamba/manusia yang dia setiap hari berdoa kepada Allah SWT, semua yang dia butuh kan langsung meminta kepada-Nya. Tetapi setelah beberapa waktu, dia akhirnya mengeluh kalau ayat di atas sekan-akan tidak berlaku untuk dirinya. Setelah di telaah lebih lanjut, ternyata bukan Allah SWT yang keliru, bukan cara berdoanya yang keliru, tetapi justru yang keliru adalah dirinya sendiri, saat ada panggilan Allah SWT dia melaksanakannya secara formalitas saja, tidak sesuai dengan sunnah, dan tidak bersabar atas apa yang dia minta.
Maka dari itu, kembali dalam proses pendidikan bahwa Allah SWT tidak langsung menjadikan putra/inya langsung menjadi anak yang shaleh, harus ada proses yang begitu panjang, serta sabar dalam mendidiknya.
Bukan hanya dalam pendidikan, seorang manusia walau ia sudah berpegang dengan Al-Qur’an tetap saja dia akan mendapatkan ujian dalam kehidupan. Pada saat zaman nabi Muhammad SAW saja, banyak sekali para sahabat yang diuji begitu berat. Khabab bin Art misalnya, dia diuji dengan sangat pedih. Pimpinan orang-orang quraisy menyiksa dia karena seorang budak yang tidak mempunyai apa-apa. Bahkan dijelaskan dalam suatu riwayat daging yang ada di punggungnya terkelupas, Umar bin Khattab saat menjadi khalifah melihat dan langsung menangis. Ammar Bin Yassir juga mendapat ujian yang begitu berat, ayah dan ibunya dibunuh di depan mata kepalanya sendiri hanya karena masuk Islam. Sungguh aneh, jika ada manusia zaman sekarang hanya karena makanan, status sosial atau bahkan karena cinta, dia mengeluh kepada Allah SWT dengan mengatakan bahwa ujian ini begitu berat. Apa tidak melu dengan para sahabat yang disiksa, apa tidak malu dengan orang-orang zaman dulu yang rela terpisah daging dengan tulangnya hanya karena mempertahankan agama Islam, sungguh jika orang-orang terdahulu dihidupkan kembali lalu mengeluh karena hal-hal yang tidak perlu tentu kita semua akan malu dan tidak mau menatap mereka.
Allah SWT menegaskan bahwa kapan pun dan di mana pun ketika manusia itu lahir maka ujian akan menimpa kepada dirinya. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Ankabut ayat 1-3
الۤمّۤ ۗ اَحَسِبَ النَّاسُ اَنْ يُّتْرَكُوْٓا اَنْ يَّقُوْلُوْٓا اٰمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُوْنَ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللّٰهُ الَّذِيْنَ صَدَقُوْا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكٰذِبِيْنَ
Alif Lām Mīm. Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan (hanya dengan) berkata, “Kami telah beriman,” sedangkan mereka tidak diuji? Sungguh, Kami benar-benar telah menguji orang-orang sebelum mereka. Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui para pendusta. Seorang yang beriman, pasti akan diuji, alasan kenapa manusia diuji adalah bisa diketahui siapa saja yang bisa bersabar dan beriman. Kadang ada seorang yang dia beriman kepada Allah SWT saat dalam keadaan lapang saja, tetapi manakala Islam sedang difitnah, dicaci maki, ekonomi sedang sulit. Dia justru berada di pihak yang melawan agama Islam. Inilah alasannya kenapa Allah SWT menguji hambanya yang telah beriman, bukan saja untuk mengukur keimanannya tetapi juga untuk memisahkan orang yang beriman dengan orang munafik (Iyyak Zakiyah).
- Tujuan Hidup
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa manusia diciptakan ada tujuannya. Seorang yang sedang memasak nasi misalnya, ia memulai dengan mengambil beras dari wadah, lalu menuangkan air untuk dicuci, dibilas satu hingga tiga bilasan. Di masukkannya beras ke dalam wadah lalu dimasukkan ke penanak nasi. Ia menunggu sampai matang, lalu dicampur dengan lauk yang ia suka. Proses dari awal sampai akhir, dari yang tadinya beras sampai menjadi nasi yang bisa mengenyangkan, adalah contoh dari kehidupan manusia. Segala hal yang dilakukan oleh manusia pasti ada tujuannya masing-masing. Entah itu sastra, budaya, ekonomi dan lain sebagainya. Hal yang sama juga dilakukan oleh sang pencipta, yakni Allah SWT, Dia menciptakan manusia adalah untuk beribadah tidak yang lain. Apa yang dilakukan manusia pada sejatinya adalah untuk mengabdi kepada sang pencipta.
Manusia adalah makhluk yang berada di tengah-tengah, ia seperti koin mata uang yang mempunyai sisi negatif dan positif, atau secara sederhana manusia bisa melakukan hal yang baik dan yang salah. Tentu Allah SWT tidak begitu saja menciptakan manusia, Dia sang pencipta tidak ingin ciptaannya dalam keadaan hina dina. Namun, justru manusia itulah yang menyebabkan terjebak dalam kenistaan, dia sendiri yang menyebabkan itu semuanya. Allah SWT menciptakan keburukan, bukan bermaksud untuk melakukan itu. Namun, untuk menarik energi yang positif, sebut saja sifat sabar. Dalam diri manusia, ia akan disebut sabar manakala ada cobaan yang berat ia tetap berdiri kokoh dan berusaha untuk mencari jalan keluarnya, karena ia bisa melewati itu maka ia disebut orang yang sabar.
Dalam beberapa ayat Al-Qur’an, manusia yang jahat sejatinya adalah orang-orang yang dimakan oleh hawa nafsunya. Ia telah dikuasai oleh sifat yang jahat yang ada pada dirinya, sifat jahat itulah yang menyebabkan bahwa manusia terjebak dalam nestapa yang dalam. Hawa nafsu yang terus di beri kesempatan, sehingga pada puncaknya ia justru membenci yang pencipta, ia justru membenci kepada orang yang membawa risalah/pesan dari Tuhan (Allah SWT). Sang pembawa risalah/pesan yang kita sebut sebagai para nabi dan rasul, sering kali mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan, bahkan kalau boleh dikatakan mendapat perlakuan yang buruk, padahal para nabi dan rasul itu berasal dari mereka sendiri. Dalam Al-Qur’an nabi yang paling banyak disebut adalah nabi Musa as, ada pesan penting di dalamnya yang ingin Allah SWT beritahukan kepada kita sebagai generasi sesudahnya. Nabi Musa as dan Nabi Harun as, mendapat tugas yang sangat berat, mereka harus berdakwah kepada seseorang yang kejam lagi keji. Kekejaman itu dibuktikan dengan membunuh bayi yang baru lahir, karena khawatir kerajaannya akan runtuh.
Nabi Musa as dan Nabi Harun sebelum masuk ke dalam istana, ia berdoa dalam keadaan takut dan itu di abadikan dalam Al-Qur’an QS. Thaha ayat 25-29, Allah SWT berfirman
قَالَ رَبِّ اشْرَحْ لِيْ صَدْرِيْ ۙ وَيَسِّرْ لِيْٓ اَمْرِيْ ۙ وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِّنْ لِّسَانِيْ ۙ يَفْقَهُوْا قَوْلِيْ ۖ وَاجْعَلْ لِّيْ وَزِيْرًا مِّنْ اَهْلِيْ ۙ
Dia (Musa) berkata, “Wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, agar mereka mengerti perkataanku. Jadikanlah untukku seorang penolong dari keluargaku. Nabi Musa dan Nabi Harun berdoa sebelum berdakwah kepada raja yang sangat kejam (Bunga Aulia). Kedua nabi itu berdoa bukan tanpa alasan, mereka berdoa ingin menunjukkan bahwa mereka adalah manusia biasa, selain itu keduanya berdoa bukan tidak ingin berdakwah apalagi sampai melanggar perintah Allah SWT tapi mereka ingin menunjukkan bahwa sejatinya kita sebagai manusia jika tanpa Allah SWT tidak ada apa-apanya, maka dari itu jangan pernah sedetik pun dalam kehidupan tidak melibatkan Allah SWT.
Setelah nabi Musa as dan Nabi Harun as, memberikan pertolongan kepada mereka (Bani Israil), apa yang dilakukan oleh mereka kepada kedua nabi sungguh di luar dugaan. Perbuatan mereka di abadikan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an, dalam beberapa surah dan ayat yang berbeda perbuatan bani israil sangat bertolak belakang dengan sebutan yang mereka agungkan. Misalnya saja, menyuruh nabi Musa untuk berperang dengan Allah SWT, kembali menyembah sapi saat nabi Musa menerima wahyu, melanggar perjanjian yang telah disepakati serta sering mengubah ayat-ayat (wahyu) yang telah Allah SWT turunkan (Agim Mulyadi). Misalnya dalam surah Thaha ayat 90
وَلَقَدْ قَالَ لَهُمْ هٰرُوْنُ مِنْ قَبْلُ يٰقَوْمِ اِنَّمَا فُتِنْتُمْ بِهٖۚ وَاِنَّ رَبَّكُمُ الرَّحْمٰنُ فَاتَّبِعُوْنِيْ وَاَطِيْعُوْٓا اَمْرِيْ
Sungguh, sebelumnya Harun telah berkata kepada mereka, “Wahai kaumku, sesungguhnya kamu hanya diberi cobaan dengannya (patung anak sapi) dan sesungguhnya Tuhanmu ialah (Allah) Yang Maha Pengasih. Maka, ikutilah aku dan taatilah perintahku.” Saat Nabi Harun as diberi amanah oleh nabi Musa untuk menjaga akidah, mereka (bani israil) justru mengingkari apa yang diucapkan nabi Harun as, tidak mau taat dan hanya beberapa hari saja, mereka kembali menyembah anak sapi karena itu merupakan tradisi leluhur mereka. Hingga pada akhirnya, Allah SWT menghukum mereka dengan cara bunuh diri untuk menghapus dosa-dosanya.
Mungkin kita pernah bertanya dalam hati, kok ada manusia yang sudah jelas-jelas durhaka, tapi masih belum mati-mati. Jawabannya adalah karena dua hal, pertama agar siksanya ditangguhkan, jika kita dalam kehidupan mengalami hal yang menyenangkan tapi jauh dari Allah SWT, itu adalah rencana dari Allah SWT untuk menangguhkan siksanya. Kedua adalah bentuk kasih sayang Allah SWT. Manusia sekejam apa pun, dengan sifat Rahman dan Rahim Allah SWT tetap akan datang juga. Buktinya adalah firaun, dia sebagai raja yang kejam Allah SWT sampai mengutus dua nabi untuk berdakwah, masuk Islam serta menjadi orang yang bertakwa. Namun, sebagaimana telah kita tahu pada akhirnya dia dalam keadaan kafir. Lalu, apa manfaatnya takwa? Allah SWT menjelaskan dalam QS. Adz-Zariyat ayat 15
اِنَّ الْمُتَّقِيْنَ فِيْ جَنّٰتٍ وَّعُيُوْنٍۙ
Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam (surga yang penuh) taman-taman dan mata air. Arti takwa secara sederhana adalah taat kepada perintah Allah SWT dan menjauhi larangannya. Di dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa orang yang bertakwa (muslim) sudah pasti di hari kiamat nanti akan berada di taman-taman surga dan mata air. Mereka mendapatkan itu sebagai balasan karena mereka bertakwa, maka Allah SWT pun menyiapkan tempat yang begitu indah yang layak mereka huni (suci fathia).
Jadi jelaslah bahwa tujuan manusia adalah beribadah kepada Allah SWT, lalu kenapa Allah SWT menciptakan makhluk lain selain manusia, apakah mereka juga beribadah? Jawaban itu bisa kita dapatkan di dalam Al-Qur’an, sebagaimana telah kita jelaskan di awal bahwa Al-Qur’an merupakan pedoman hidup bagi manusia. Allah SWT menciptakan makhluk lain selain manusia adalah bertasbih, bentuk tasbih setiap makhluk berbeda-beda. Kita sebagai manusia tidak mempunyai alasan untuk mengetahui semuanya. Misalnya saja tumbuhan, mereka hidup tunduk patuh kepada sang pencipta, dan kita tidak tahu bagaimana cara tumbuhan itu bertasbih, pun demikian dengan ikan yang ada di lautan, burung yang terbang, bahkan tanah dan batu pun yang tidak bergerak tentunya bertasbih dan kita tidak mempunyai alasan yang kuat untuk mengetahuinya. Semua itu sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an Surah Al-Jumuah ayat 1
يُسَبِّحُ لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ الْعَزِيْزِ الْحَكِيْمِ
Apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi senantiasa bertasbih kepada Allah Yang Maharaja, Mahasuci, Mahaperkasa, lagi Mahabijaksana. Jadi sudah jelas bahwa segala sesuatu yang telah Allah SWT ciptakan mempunyai tujuan, bahkan hal-hal yang tidak dipikirkan oleh manusia pun ada tujuannya, yakni bertasbih (Resa Padilah Akbar).
Selain untuk membedakan antara manusia dengan makhluk lain, fungsi lain dari tasbih adalah untuk menyucikan dari hal-hal yang tidak dimiliki oleh Allah SWT. Di dalam Al-Qur’an pun di abadikan bagaimana sifat buruk yang dimiliki oleh manusia, sampai mengatakan Allah SWT mempunyai anak, Allah SWT mempunyai pelayan perempuan (para malaikat), Allah SWT mempunyai sifat faqir/miskin, itu semua adalah perkataan yang dilakukan oleh manusia paling buruk yang jelas-jelas tidak berdasar sama sekali. Maka, untuk menepis hal-hal itu sering kali Allah SWT menggunakan lafadz Subahanllah.
Dari masa ke masa, ada saja bagi para nabi dan rasul yang menentang, bahkan tidak jarang mereka melakukan hal-hal yang tidak diperintahkan Allah SWT, misalnya saja mengkultuskan Nabi Isa sebagai Tuhan, padahal itu jelas salah. Allah SWT mengabadikan dalam QS. Al-Maidah ayat 72
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِيْنَ قَالُوْٓا اِنَّ اللّٰهَ هُوَ الْمَسِيْحُ ابْنُ مَرْيَمَ ۗوَقَالَ الْمَسِيْحُ يٰبَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اعْبُدُوا اللّٰهَ رَبِّيْ وَرَبَّكُمْ ۗاِنَّهٗ مَنْ يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللّٰهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوٰىهُ النَّارُ ۗوَمَا لِلظّٰلِمِيْنَ مِنْ اَنْصَارٍ
Sungguh, telah kufur orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya Allah itulah Almasih putra Maryam.” Almasih (sendiri) berkata, “Wahai Bani Israil, sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu!” Sesungguhnya siapa yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka sungguh, Allah mengharamkan surga baginya dan tempatnya ialah neraka. Tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang zalim itu. Dalam ayat ini menjelaskan bahwa Allah SWT akan menempatkan orang-orang kefir ke dalam api neraka, secara otomatis Allah SWT haramkan surga bagi mereka dan tidak ada satu pun yang bisa menolongnya. Orang-orang kafir itu adalah orang yang zalim yang berkata bahwa sesungguhnya Allah SWT adalah al-Masih/Nabi Isa, mereka menyekutukan Allah SWT dengan cara menyembah nabi Isa, padahal sudah jelas nabi Isa mengajak untuk menyembah Allah SWT, Dia adalah tuhanku dan tuhanmu, tetapi mereka tidak mau menyembah Allah SWT dan justru menurunkan ajaran dari generasi ke generasi bahwa nabi Isa adalah Tuhan (Cantika Agustin).
Bagi mereka yang menyekutukan Allah SWT atau dengan kata lain melanggar apa yang telah Allah SWT larang, tentu keadaan mereka dengan orang yang bertakwa pasti berbeda. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa mereka tidak sama, walau mereka punya nasib yang sama namun pada akhirnya keadaan mereka akan berbeda, Allah SWT berfirman
لَا يَسْتَوِيْٓ اَصْحٰبُ النَّارِ وَاَصْحٰبُ الْجَنَّةِۗ اَصْحٰبُ الْجَنَّةِ هُمُ الْفَاۤىِٕزُوْنَ
Tidak sama para penghuni neraka dengan para penghuni surga. Penghuni-penghuni surga itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan. Para penghuni surga itu akan memperoleh kemenangan, karena mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan surga di akhirat. Mereka bersungguh-sungguh untuk menjadikan surga sebagai tempat terakhirnya. Maka dari itu, seorang manusia yang sadar, dia akan memperbanyak ibadah, berbuat baik dan lain sebagainya. Adapun nasib bagi orang yang masuk ke dalam api neraka, selalu saja berbuat sesuka hati, sesuai apa yang dia inginkan karena itu mereka mendapatkan nasib yang sengsara. Jadi sudah jelas, kalau nasib orang yang beriman dan bertakwa akan berbeda dengan orang yang kafir dan munafik, semoga kita dijauhkan dari sifat buruk itu (Mutia Hidayanti).
Pada hari pengadilan / timbangan amal tiba, Allah SWT akan mengadili seorang manusia secara detail dan adil. Tidak ada seorang manusia yang di zalimi, mereka yang merasa menjadi korban oleh manusia durhaka, kelak pada hari itu akan menuntut balas, dan tentunya Allah SWT akan membalas bagi mereka yang durhaka. Allah SWT Maha Mengetahui segala sesuatu, baik yang terlihat atau yang tersembunyi, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an Surah At-Thagabun ayat 4
يَعْلَمُ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَيَعْلَمُ مَا تُسِرُّوْنَ وَمَا تُعْلِنُوْنَۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ ۢبِذَاتِ الصُّدُوْرِ
Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi. Dia juga mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu tampakkan. Allah Maha Mengetahui segala isi hati. Allah SWT Maha Mengetahui segala isi hati yang ada di dalam dada manusia, maka hendaknya sebagai seorang manusia bertakwa baik dalam keadaan senang atau sedih (Ruben Cixo). Pengetahuan Allah SWT bukan sekedar tentang isi hati yang ada di dalam dada manusia, melainkan semua yang ada di alam semesta ini tanpa terkecuali. Oleh karena itu, segala hal yang dialami oleh korban yang dilakukan oleh manusia durhaka, pada hari itu akan terungkap dan di adili. Kebaikan sekecil apa pun pasti akan mendapatkan balasan, maka sudah pasti kejahatan pula yang dilakukan oleh manusia. Hal itu ditegaskan dalam firman Allah SWT Surah Al-Zalzalah
فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهٗۚ وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَهٗ ࣖ
Siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah, dia akan melihat (balasan)-nya. Siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah, dia akan melihat (balasan)-nya. Jadi sudah jelas, bahwa segala tindakan yang dilakukan oleh manusia pasti ada konsekuensinya, besar atau kecil, sadar atau tak sadar, semuanya akan diadili (Fahri).
- Menyembah dan Berserah diri
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Allah SWT menciptakan manusia adalah untuk beribadah. Sama halnya dengan Jin, mereka juga adalah makhluk Allah SWT yang tujuan hidupnya adalah untuk beribadah, dan selain keduanya (manusia dan jin) tugas selama hidupnya adalah bertasbih. Allah SWT adalah zat satu-satunya yang berhak disembah oleh seluruh makhluk, Dia juga menyebutkan dalam beberapa surah dan ayat yang berbeda. Terkadang menyebut nama langsung yakni Allah, terkadang juga menggunakan dhamir (kata ganti), bisa Dia, -Nya, Rabb, dan lain sebagainya. Sebagian ulama menyebut, bahwa tujuan Allah SWT menyebut itu, supaya para manusia dan jin semakin yakin akan tujuan dalam hidupnya, semakin yakin siapa yang disembah, semakin yakin kalau dirinya saat beribadah tidak sia-sia, dan tentunya semakin yakin kalau apa yang telah Allah SWT janjikan pasti ditepati. Misalnya dalam QS. As-Saffat ayat 4
اِنَّ اِلٰهَكُمْ لَوَاحِدٌۗ
Sungguh, Tuhanmu benar-benar Esa. Allah SWT sebagai Tuhan seluruh makhluk juga sebagai pemberi rizki (Wahid Khoirul). Rizki yang telah Allah SWT berikan kepada makhluknya tentu harus dan mesti di syukuri, bukan hanya sebagai bentuk terima kasih karena telah memenuhi kebutuhan, tetapi juga sebagai bentuk penghambaan dan ketidakmampuan sebagai manusia yang lemah.
Banyak ayat dan juga hadis nabi Saw yang menuntun kita untuk selalu pandai dalam bersyukur, karena dengan bersyukur hati manusia bisa menjadi lebih lapang, tidak sesak dan sempit. Selain untuk melapangkan hati, dengan bersyukur tentunya lebih dekat dengan Allah SWT, dan justru akan semakin ditambah lagi nikmatnya. Allah SWT berfirman dalam QS. Ibrahim ayat 7
وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ
(Ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras.” Dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah SWT menjanjikan kepada umat manusia, jika sekiranya manusia itu bersyukur atas nikmat-nikmat yang telah diberikan kepada mereka, lalu melaksanakan apa yang telah Allah SWT perintahkan dan menjauhi larangannya, niscaya Allah SWT akan menambah nikmat yang berlimpah kepada mereka. Namun apabila mereka mengingkari apa yang telah diberikan kepada mereka dan tidak mensyukuri, niscaya mereka akan mendapatkan siksa baik itu di dunia maupun di akhirat, dan tentunya mereka akan dijauhkan dari keberkahan atas nikmat-nikmat itu (Dista Rafael).
Sifat manusia itulah yang terkadang menjadi penyebab datangnya murka Allah SWT, sudah diberi nikmat justru malah mengingkarinya. Dalam beberapa kisah yang disebutkan Al-Qur’an, Allah SWT memberi tahu bahwa banyak kaum yang mendapat azab, bukan saja karena menentang dakwah para nabi tetapi disebabkan kufur nikmat/tidak mau bersyukur. Allah SWT sebutkan dalam QS. Yunus ayat 12
وَاِذَا مَسَّ الْاِنْسَانَ الضُّرُّ دَعَانَا لِجَنْۢبِهٖٓ اَوْ قَاعِدًا اَوْ قَاۤىِٕمًا ۚفَلَمَّا كَشَفْنَا عَنْهُ ضُرَّهٗ مَرَّ كَاَنْ لَّمْ يَدْعُنَآ اِلٰى ضُرٍّ مَّسَّهٗۗ كَذٰلِكَ زُيِّنَ لِلْمُسْرِفِيْنَ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
Apabila manusia ditimpa kesusahan, dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri. Namun, setelah Kami hilangkan kesusahan itu darinya, dia kembali (ke jalan yang sesat) seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) kesusahan yang telah menimpanya. Demikianlah, dijadikan terasa indah bagi orang-orang yang melampaui batas itu apa yang selalu mereka kerjakan. Itulah sifat manusia yang apabila ditimpa musibah, bahaya atau keadaan yang membuat dirinya lemah, dia akan berdoa dalam keadaan apa pun. Namun justru sebaliknya, apabila telah dicabut musibah satu per satu maka dia akan kembali ke jalan kesesatan seolah-olah dia tidak pernah membutuhkan atau tidak pernah berdoa kepada Allah SWT (Faiz Abdul Fawaz).
Maka dari itu, hendaknya kita sebagai manusia bukan hanya pandai dalam bersyukur tetapi harus yakin bahwa Allah SWT itu adalah Tuhan satu-satunya. Dalam ayat di atas Allah SWT menyebutkan bahwa Dialah satu-satunya zat yang berhak untuk disembah, dan tidak boleh menyembah Tuhan. Firman Allah SWT
وَلَا تَدْعُ مَعَ اللّٰهِ اِلٰهًا اٰخَرَۘ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۗ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ اِلَّا وَجْهَهٗ ۗ لَهُ الْحُكْمُ وَاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ ࣖ
Jangan (pula) engkau sembah Tuhan yang lain (selain Allah). Tidak ada tuhan selain Dia. Segala sesuatu pasti binasa, kecuali zat-Nya. Segala putusan menjadi wewenang-Nya dan hanya kepada-Nya kamu dikembalikan. Allah SWT dapat mengetahui siapa yang mendapatkan petunjuk dan siapa yang berada dalam kesesatan (Fawaz Raiha). Jalan satu-satunya agar tidak tersesat, adalah kembali kepada Al-Qur’an. Ketika seseorang kembali kepada Al-Qur’an maka secara otomatis dia kembali kepada Allah SWT , karena Al-Qur’an adalah Kalamullah. Firman Allah SWT
الۤرٰ ۗتِلْكَ اٰيٰتُ الْكِتٰبِ وَقُرْاٰنٍ مُّبِيْنٍ ۔ رُبَمَا يَوَدُّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لَوْ كَانُوْا مُسْلِمِيْنَ
Alif Lām Rā. Itulah ayat-ayat Kitab, yaitu (ayat-ayat) Al-Qur’an yang memberi penjelasan. Orang-orang yang kufur itu sering kali (nanti di akhirat) menginginkan, sekiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang muslim. Selain itu, ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian Al-Qur’an. Ayat-ayat Allah SWT sangat sempurna, di setiap ayat tersebut memberikan penjelasan tentang apa pun yang terjadi di zaman Rasulullah SAW dan nabi-nabi terdahulu. Allah SWT menurunkan Al-Qur’an agar kita mempelajarinya dan mengajarkannya kepada orang lain (M. Rafli Akbar).
- Macam-macam Manusia
Secara umum manusia diberikan hawa nafsu, hawa nafsu yang ada di dalam diri manusia bukan untuk dihilangkan, melainkan dikendalikan. Allah SWT berfirman dalam QS. Ali Imran ayat 14
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوٰتِ مِنَ النِّسَاۤءِ وَالْبَنِيْنَ وَالْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْاَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۗوَاللّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الْمَاٰبِ
Dijadikan indah bagi manusia kecintaan pada aneka kesenangan yang berupa perempuan, anak-anak, harta benda yang bertimbun tak terhingga berupa emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik. Maksud ayat di atas adalah Allah SWT menjadikan segala hal yang dilihat oleh manusia terasa indah dan menjadikan kita cinta terhadap apa-apa yang di inginkan. Karena mengikuti hawa nafsu, banyak orang yang tertipu dengan kesenangan yang sementara, padahal manusia di dunia tidak akan hidup selamanya, melainkan akan kembali ke akhirat, karena akhirat adalah sebaik-baik tempat untuk istirahat selamanya (Lulu Lutfiah
Di dalam Al-Qur’an, Allah SWT menyebut manusia dengan beberapa bentuk lafaz yang berbeda, dan tentunya makna yang berbeda. Terkadang Allah SWT menyebut kata Naas sebagai bentuk lafaz manusia secara umum, apakah ia itu beriman atau kafir. Di surah yang lain Allah SWT menggunakan lafaz Insan, yang bermakna bahwa manusia itu mempunyai dua sifat dalam dirinya (baik dan buruk), terkadang juga Allah SWT menggunakan lafaz ins yang bermakna baik atau energi positif dan yang terakhir Allah SWT menggunakan lafaz basyar yang bermakna secara zahir / terlihat.
Setelah menyebutkan manusia dilihat secara lafaz, sekarang penulis akan menyebutkan beberapa macam-macam manusia. Pada awal ayat surah al-baqarah, Allah SWT menebutkan ada tiga macam manusia yakni beriman, kafir dan munafik. Namun ternyata, di surah yang lain Allah SWT menyebut ada manusia yang zalim, dan fasiq. Menurut hemat penulis, kata zalim dan fasiq adalah sifat manusia dan tidak termasuk ke dalam kategori macam-macam manusia. Adapun macam-macam manusia adalah tiga jenis/macam yang disebutkan beberapa ayat surah al-Baqarah. Pertama orang yang beriman, adalah mereka yang telah meyakini sepenuh hati akan adanya Allah SWT dan bersyahadat kepada para nabi/rasul, mereka juga yang tunduk patuh akan perintah serta menjauhi larangan. Kedua adalah orang kafir, orang kafir terbagi menjadi dua, pertama adalah kafir secara umum. Maksudnya adalah mereka yang tidak menyembah Allah SWT, tidak mengakui adanya Tuhan, atau menyembah kepada benda-benda, dan ada juga yang menyembah kepada roh/syetan. Sedangkan jenis kafir yang kedua adalah mereka yang menyembah Allah SWT juga menyembah selain Allah SWT, mereka juga yang suka berdusta atas nama rasul dan Allah SWT. Selain itu, mereka juga yang suka mengubah ayat-ayat (wahyu) sesuai dengan keinginan mereka. Para ulama sepakat bahwa mereka adalah orang Yahudi dan Nasrani. Ketiga, adalah orang munafik. Yakni mereka yang mengaku sebagai muslim tetapi hati mereka dalam keadaan kafir, atau mereka adalah orang-orang yang mempunyai niat jahat, untuk menghancurkan Islam. Mereka juga adalah orang-orang yang menjadi musuh dalam selimut, mencari celah kekurangan Islam dan suka memperolok-olok.
Pada saat hari penghakiman tiba, nasib ketiga jenis/macam manusia itu berbeda-beda, tentu orang yang beriman akan memperoleh apa yang telah Allah SWT janjikan, yakni kebahagiaan / surga. Dan untuk orang kafir dan munafik, mereka akan mendapat keadaan yang sengsara tiada batas. Ada satu hal yang menarik, perbedaan antara Yahudi dan Nasrani adalah tentang ilmu dan amal. Orang Nasrani adalah orang yang ingin beramal namun tidak punya ilmu, sehingga mereka dalam keadaan yang tersesat, hingga mengatakan kalau Nabi Isa as adalah Tuhan. Orang Nasrani adalah bani israil, dan bani israil adalah kaum yang secara hukum masuk ke dalam etnis/kelompok, artinya tidak sembarang orang bisa menjadi orang Nasrani hanya orang yang lahir dari orang tua asli yang pantas di sebut sebagai Nasrani. Sehingga secara otomatis, agama atau ajaran Nabi Isa as, itu tidak boleh disebarluaskan secara umum, karena wahyu atau ajaran dari Allah SWT sebelum nabi Muhammad SAW hanya untuk daerah itu saja.
Adapun orang Yahudi, adalah kebalikan dari orang Nasrani yaitu mereka yang tahu ilmu tapi tidak mau mengamalkan, hanya karena nabi terakhir atau nabi Muhammad SAW bukan berasal dari kalangan bani israil / Yahudi, dan secara otomatis orang Yahudi yang masuk Islam pada zaman nabi Muhammad SAW hanya sebagian kecil, mereka itulah yang mendapat dua pahala, dan mereka itulah orang Yahudi yang tahu ilmu dan mengamalkan.
Banyak ayat atau hadis yang berkaitan dengan orang Yahudi, ada yang baik ada juga yang jahat/memusuhi Islam. Selain itu, orang-orang Yahudi juga selalu bertanya kepada nabi Muhammad SAW. pertanyaan yang diajukan ke nabi Muhammad SAW kebanyakan hanya untuk memperolok-olok. Bahkan mereka tahu konsekuensi jika tidak beriman kepada nabi Muhammad SAW, Allah SWT berfirman dalam Qs. Ali Imran ayat 24
ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْا لَنْ تَمَسَّنَا النَّارُ اِلَّآ اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍ ۖ وَّغَرَّهُمْ فِيْ دِيْنِهِمْ مَّا كَانُوْا يَفْتَرُوْنَ
Demikian itu disebabkan bahwa mereka berkata, “Api neraka tidak akan menyentuh kami, kecuali beberapa hitungan hari saja.” Mereka teperdaya dalam agamanya oleh apa yang selalu mereka ada-adakan. Mereka orang Yahudi selalu membangga-banggakan keturunan leluhur mereka, hingga mereka meremehkan siksa api neraka karena mereka adalah kaum yang dicintai oleh Allah SWT. oleh sebab itulah, mereka selalu mengada-ngada agar tidak beriman kepada nabi Muhammad SAW (Meisya Nouval)
Sudah menjadi persoalan yang lumrah bahwa memerangi orang yang ada di dalam pasukan jauh lebih sulit ketimbang di luar pasukan, atau dengan istilah lain mereka adalah musuh dalam selimut. Itu adalah gambaran dari orang-orang munafik, mereka adalah orang yang fasik dengan kata lain selalu melakukan hal-hal yang mencederai agama Islam. Dalam beberapa kasus misalnya pernah memfitnah istri nabi (Aisyah) berzina dengan sahabat, mengolok-olok orang yang bersedekah sedikit serta mencela orang yang sedekahnya banyak. Maka, tatkala mereka (munafik) mati, bagi orang yang masih hidup meminta istighfar agar diringankan atau bahkan dihilangkan akan percuma saja (Nabila Salsabila). Allah SWT berfirman dalam Qs. Al-Munafikun ayat 6
سَوَاۤءٌ عَلَيْهِمْ اَسْتَغْفَرْتَ لَهُمْ اَمْ لَمْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْۗ لَنْ يَّغْفِرَ اللّٰهُ لَهُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْفٰسِقِيْنَ
Sama saja bagi mereka apakah engkau (Nabi Muhammad) memohonkan ampunan untuk mereka atau tidak, Allah tidak akan mengampuni mereka. Sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada kaum fasik. Ayat ini turun kepada nabi Muhammad SAW karena permintaan dari putra tokoh munafik yaitu Abdullah. Ketua atau pimpinan munafik adalah Abdullah bin Ubay bin Abi Salul, dia meninggal dunia dan putranya (Abdullah /anak yang saleh), meminta kepada Rasulullah SAW untuk menggunakan kainnya serta meminta istighfar kepada ayahnya. Umar menarik baju Rasulullah SAW agar jangan memenuhi permintaan putranya, lalu nabi Muhammad SAW tetap melaksanakan dengan alasan sebagai bentuk penghormatan kepada putranya, setelah kejadian itu turunlah ayat ini.
Dari kejadian ini, baik antara orang Yahudi, Nasrani, atau orang fasik hendaknya kita memperlakukan sebagaimana mestinya. Jika dalam konteks kemanusiaan, maka kita tidak boleh membedakan, antara mereka. Tetapi jika dalam bentuk keagamaan, ibadah, berteman, maka hendaknya kita melihat bagaimana cara Rasulullah SAW. Baginda nabi Muhammad SAW selalu lembut jika urusan dunia dan tegas jika urusan akhirat (ibadah). Dalam menerima informasi misalnya, jika memang kita tahu dan dia secara terang-terangan suka mencaci maki agama Islam, maka hendaknya kita harus berhati-hati. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Hujruat ayat 6
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًاۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ
Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu membawa berita penting, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuan(-mu) yang berakibat kamu menyesali perbuatanmu itu. Ketika mendengar suatu berita, hendaknya kita berhati-hati dengan orang yang menyampaikan berita tersebut. Bisa jadi ada berita yang disampaikan adalah kebohongan. Maka dari itu, hendaknya kita menelusuri berita, agar tidak termasuk kepada orang yang menyebarkan berita bohong (Mutiara Putri).
Ayat di atas, konteksnya adalah beberapa sahabat yang keliru dalam menangkap berita sampai-sampai ada yang menghunuskan pedang. Walaupun konteks ayatnya adalah keliru dalam menangkap informasi, ini juga menjadi pelajaran bagi kita agar berhati-hati dari siapa berita itu diucapkan. Apalagi di zaman sekarang adalah zaman serba online, hampir di semua media sosial pasti ada saja berita yang valid dan yang bohong.
Mereka (Yahudi, Nasrani dan Munafik) pasti akan di masukan ke dalam api neraka, dalam beberapa riwayat menyebut bahwa orang Yahudi masuk neraka disebabkan menyembah selain Allah SWT, tidak beriman kepada nabi Muhammad SAW dan masih banyak lagi. Orang Nasrani juga sudah jelas, mereka menyebut nabi Isa sebagai Tuhan dan meyakini Trinitas, adapun orang munafik adalah orang yang menipu diri mereka sendiri, mengaku Islam tetapi di dalam hatinya masih dalam keadaan kafir. Maka balasan bagi mereka adalah neraka yang kekal abadi, Allah SWT berfirman
فَاِنْ يَّصْبِرُوْا فَالنَّارُ مَثْوًى لَّهُمْ ۚوَاِنْ يَّسْتَعْتِبُوْا فَمَا هُمْ مِّنَ الْمُعْتَبِيْنَ
Jika mereka bersabar (atas azab neraka), nerakalah tempat tinggal mereka dan jika mereka meminta belas kasihan, maka mereka bukanlah orang yang pantas dikasihani. Mereka semua adalah orang-orang yang menentang persaksian dari penglihatan, pendengaran dan kulit mereka. Mereka mengetahui akan hal itu, akan tetapi tidak mau mengakui akan kebenaran nabi Muhammad SAW (Rahma Faujiah).
- Bagian akhir
Kita sebagai manusia, tentu tidak ada yang mau hidup dalam keadaan yang tidak enak, semua menginginkan dalam keadaan bahagia, hal itu wajar mengingat itu adalah tabiat manusia itu sendiri. Maka, dengan di utusnya nabi Muhammad SAW dan di bantu dengan para sahabat dan diteruskan dari generasi ke generasi bahwa siapa pun yang mengikuti kehidupan Rasulullah SAW dia sudah pasti akan hidup dalam keadaan bahagia.
Namun tentunya kita juga menyadari bahwa apa yang ada di sekitar kita bukan karena keinginan kita sendiri, kita mau hidup di keluarga mana, siapa ayahnya, siapa ibunya, lahir dari negara mana, kita sebagai manusia tidak bisa menginginkan sesuka hati. Apa yang telah terjadi maka pasti akan terjadi, itulah beberapa penggalan dalam ayat Al-Qur’an, semuanya sudah diatur oleh sang Maha Kuasa, lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi. Maka setiap ujian yang menimpa kepada kita tentunya akan disesuaikan dengan kemampuan masing-masing, ada yang ditinggal wafat oleh kedua orang tuanya, ada yang diuji dengan harta, ada juga yang diuji dengan mental, tidak ada yang memperhatikan di keluarga atau pun di masyarakat. Semua itu, bukan menjadikan kita sebagai makhluk yang hina dina, tetapi tujuannya adalah untuk mengangkat derajat diri kita.
Ujian yang menimpa kepada kita sebagai umat nabi Muhammad SAW, tidak ada bandingannya dengan ujian para nabi. Dalam satu riwayat, nabi saw pernah ditanya oleh sahabat perihal ujian yang menimpa kepada beliau. Maka beliau Saw bersabda bahwa sakit kepala yang beliau alami setara sakit kepala yang dialami oleh dua orang dewasa, tentu pahalanya juga akan double, namun bukan itu poinnya. Poinnya adalah bahwa ujian yang menimpa kepada para nabi dan rasul jauh lebih besar dan berat ketimbang yang sedang kita alami sekarang, maka dari itu Allah SWT mengajarkan kepada nabi Muhammad SAW melalui surah Qaf ayat 39 dan 40
فَاصْبِرْ عَلٰى مَا يَقُوْلُوْنَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوْعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوْبِ ۚ وَمِنَ الَّيْلِ فَسَبِّحْهُ وَاَدْبَارَ السُّجُوْدِ
Maka, bersabarlah engkau (Nabi Muhammad) terhadap apa yang mereka katakan dan bertasbihlah seraya bertahmid (memuji) Tuhanmu sebelum terbit dan terbenamnya matahari. Bertasbihlah pula kepada-Nya pada sebagian malam hari dan setiap selesai salat. Allah SWT memerintahkan kepada nabi Muhammad SAW agar tidak mendengarkan perkataan orang yang melukai hatinya atau bahkan membuat nabi putus asa dalam berdakwah. Dalam bentuk upaya penyelamatan mental, Allah SWT pun menghibur nabi-Nya dengan cara mendekatkan diri sambil berzikir setiap pagi dan sore hari, bahkan Allah SWT juga memerintahkan untuk mengerjakan shalat malam. Maka dengan melakukan apa yang telah Allah SWT perintahkan, dimaksudkan untuk ujian yang dirasakan akan lebih ringan (Najwa Hilda).
Itulah pelajaran yang berharga dari manusia paling shaleh baginda nabi Muhammad SAW, beliau selalu tenang ketika menimpa dirinya dan tegas ketika Islam direndahkan. Dalam kehidupan dunia ini, semuanya mempunyai jalan cerita masing-masing, mempunyai ujian dan cobaannya masing-masing, maka cara terbaik dalam menyelesaikannya bukan cerita kepada orang lain tetapi cerita kepada sang pencipta.
Sebagai Zat Yang Maha Kuasa, Allah SWT menciptakan makhluk lain untuk keseimbangan ekosistem. Di awal sudah dijelaskan bahwa selain jin dan manusia, para makhluk Allah SWT itu bertasbih setiap hari, juga ditegaskan dalam QS. Al-Jasiyah ayat 4
وَفِيْ خَلْقِكُمْ وَمَا يَبُثُّ مِنْ دَاۤبَّةٍ اٰيٰتٌ لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَۙ
Pada penciptaan kamu dan makhluk bergerak yang ditebarkan-Nya terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang meyakini. Dan juga pada penciptaan dirimu, wahai manusia, dengan bentuk yang fungsi yang sempurna dan pada apa yang di tebarkan-Nya di permukaan bumi dari aneka jenis binatang melata, terdapat tanda-tanda keesaan, kekuasaan, dan kebesaran Allah untuk kaum yang meyakini (Siti Barkah)
Kita sebagai makhluk, tentu tidak dibiarkan begitu saja, pada pembahasan sebelumnya yakni tentang tujuan manusia. Allah SWT mengatur semua yang ada di dalam semesta ini, tentunya juga yang ada di bumi. Setiap orang yang sudah berserah diri/muslim, ia harus mengikuti aturan yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Agama Islam sebagai agama yang diridainya, nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya dan Al-Qur’an Sunnah sebagai petunjuknya. Maka dari itu, ketika ada ujian atau cobaan yang menimpa seorang hamba, dia juga harus yakin bahwa rezeki juga akan datang menghampiri kepada seorang hamba itu sendiri.
Perbedaan yang mendasar antara sebagai seorang muslim dan yang bukan Islam adalah keberkahan rezeki itu sendiri. Banyak harta belum tentu berkah, tetapi jika harta sudah diberikan hak-haknya (infak, zakat dll) maka sudah pasti harta yang dimiliki oleh seorang muslim, banyak atau sedikit pasti akan menjadi keberkahan untuk dirinya juga keluarganya. Para ulama sepakat bahwa rezeki yang datang kepada seorang muslim sama hakikatnya dengan kematian, perbedaan yang mendasar adalah bahwa kematian akan datang menghampiri tatkala rezeki saat di dunia sudah habis. Firman Allah SWT dalam QS. Az-Zariyat ayat 50
اِنَّ اللّٰهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِيْنُ
Sesungguhnya Allahlah Maha Pemberi Rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kukuh.
Rezeki yang diterima oleh seorang manusia, tidak selamanya tentang harta. Manusia akan mendapatkan rezeki dalam bentuk apa pun, bisa saja ia tidak dapat uang namun mempunyai keluarga yang shaleh, pun sebaliknya ia mendapatkan uang tetapi perhatian keluarganya kurang. Bahkan bisa juga, bentuk rezeki yang Allah SWT berikan kepada seorang manusia dalam bentuk dimudahkan langkah kaki untuk mencari ilmu, untuk menghafal Al-Qur’an, dan lain sebagainya (Wa Junarsih).
Adapun rezeki yang paling indah adalah masih bisa menyaksikan ibu dan ayah berada di rumah, banyak hamba-hamba Allah SWT yang diuji begitu berat, di antaranya adalah di wafat kan kedua orang tua. Bagi sebagian orang, mungkin itu adalah hal yang normal saat seseorang meninggal dunia, namun beda cerita saat ibu atau ayah yang meninggal. Tidak ada sandaran untuk mendengar saat masalah dihadapi, juga tidak ada yang bisa di ekspresikan saat mendapat kesuksesan, semuanya akan terasa hambar ketika salah satu sudah tiada atau bahkan keduanya sudah tidak ada.
Allah SWT Yang Maha Tahu, tentu bukan menjadikan kita sebagai orang yang sangat menderita, banyak para ulama besar yang saat kecil sudah ditinggal oleh ayah/ibunya. Imam As-Syafii misalnya beliau lahir di Palestina dan mencari ilmu dari satu daerah ke daerah lain dan menjadi Imam Madzhab di seluruh dunia, semua itu karena Ibu, ayah Imam As-Syafii sudah meninggal saat masih kecil. Pun demikian dengan Imam Al-Bukhari, beliau di rawat oleh seorang ibu dan menginginkan putranya bisa melihat dengan jelas. Hingga pada akhirnya beliau menjadi Imam Muhaddis, dan ulama sepakat seluruh dunia kalau kitab yang disusun oleh Imam Bukhari, menjadi rujukan paling pertama setelah Al-Qur’an.
Maka sangat aneh, di zaman sekarang banyak yang suka bercanda tentang masalah orang tua, bukan masalah sudah adaptasi dengan kehidupan, tetapi tidak semua mental manusia itu sama. Mungkin ada orang yang sudah kerja, tapi saat berdoa dia menangis karena ibu/ayahnya telah wafat, dan itu bukan sesuatu yang dianggap sebagai celaan. Sungguh miris di zaman yang sudah canggih, tapi suka mencemooh orang tua saudaranya yang sudah meninggal, bukankah salah satu dosa besar adalah mencaci maki kedua orang tua saudaranya?
Allah SWT berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 233
۞ وَالْوٰلِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۗ وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ اِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَاۤرَّ وَالِدَةٌ ۢبِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُوْدٌ لَّهٗ بِوَلَدِهٖ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذٰلِكَ ۚ فَاِنْ اَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗوَاِنْ اَرَدْتُّمْ اَنْ تَسْتَرْضِعُوْٓا اَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِذَا سَلَّمْتُمْ مَّآ اٰتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
Ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani, kecuali sesuai dengan kemampuannya. Janganlah seorang ibu dibuat menderita karena anaknya dan jangan pula ayahnya dibuat menderita karena anaknya. Ahli waris pun seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) berdasarkan persetujuan dan musyawarah antara keduanya, tidak ada dosa atas keduanya. Apabila kamu ingin menyusukan anakmu (kepada orang lain), tidak ada dosa bagimu jika kamu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Para ibu dianjurkan untuk menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, adapun jangka waktu dua tahun adalah jangka waktu yang sempurna untuk menyusui. Pun demikian bagi seorang ayah yang memiliki kewajiban untuk mengikuti dan memberikan pakaian kepada keluarganya.
Selain itu, kandungan ayat di atas juga menjelaskan bahwa Allah SWT tidak akan memberikan cobaan kepada hambanya di luar kemampuan hamba tersebut. Jadi sebagaimana sering disinggung bahwa saat Allah SWT memberikan cobaan kepada kita, maka kita harus yakin bahwa kita bisa melewati cobaan itu.
Dalam keluarga, orang tua tidak boleh merasa terbebani oleh anaknya, begitu pula sebaliknya. Hal ini disebabkan anak adalah rezeki dari Allah SWT, maka hendaklah senantiasa bersyukur. Jika saat menyusui anak, lalu merasa tidak sanggup dalam perawatannya, maka tidak ada dosa bagi orang tuanya untuk menyapih kepada yang lain. Hal ini sudah menjadi tradisi di Mekkah, dan nabi Muhammad SAW pun di susukan oleh perempuan bernama Halimah Sadiah. Segala tindakan yang dilakukan oleh seorang manusia, pasti akan diketahui oleh Allah SWT. Baik itu perbuatan yang baik atau yang buruk, yang disembunyikan pun pasti akan diketahui oleh Allah SWT (Aliyatussani).
Editor : Anggi Khoerul Fikri, S, Ag